Meski sudah berusia 50 tahun lebih,
Supersemar masih menuai kontroversi. Surat perintah bertanggal sebelas maret
yang mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan di Republik Indonesia itu menyimpan segudang misteri.
Namun, pengungkapan misteri seputar
Supersemar bisa dibilang menemui jalan buntu karena surat aslinya tidak
diketahui keberadaannya. Ia hilang secara misterius. Bersama dengan raibnya
surat maha penting itu, berbagai spekulasi pun muncul.
Orang bertanya tentang siapa yang
menyimpan surat itu, siapa sebenarnya yang membuatnya, seperti apa isinya,
hingga apa tujuan dibuat dan bagaimana perintah itu kemudian dilaksanakan.
Namun hingga saat ini setidaknya
ada tiga versi naskah Supersemar yang beredar di masyarakat. Pertanyaannya:
Mengapa ada tiga? Mana yang asli? Apakah ada bagian yang ditutupi?
Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) saat ini menyimpan tiga Supersemar. Namun, ketiganya memiliki versi
masing-masing.
- Pertama, Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri: jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama "Sukarno".
- Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama. Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu. Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama "Sukarno", pada versi kedua tertulis nama "Soekarno".
- Ketiga, Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.
Selain yang disimpan ANRI, ada
pihak-pihak lain yang mengaku memiliki naskah aslinya (buku Seabad Kontroversi
Sejarah, Asvi Warman Adam, halaman 80).
Beberapa sumber menyebutkan bahwa
naskah asli Supersemar disimpan di sebuah bank di luar negeri, sedangkan sumber
lain menyebut yang asli sebenarnya sudah tidak ada karena dibakar dengan tujuan
tertentu.
Dalam wawancara oleh Majalah Forum
edisi 13, 14 Oktober 1993, mantan Pangdam Jaya sekaligus mantan Menteri Dalam
Negeri Amirmachmud mengatakan bahwa naskah asli Supersemar diserahkan oleh
Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan dirinya kepada Soeharto yang saat itu menjabat Menteri
Panglima Angkatan Darat.
Namun kemudian Pak Harto
menyerahkan surat itu pada Soedharmono untuk keperluan pembubaran PKI. Setelah
itu surat tersebut “menghilang.” Apakah dikembalikan pada Soeharto karena Soedharmono mengaku tidak menyimpannya, atau
disimpan orang lain?
Menurut Amirmachmud naskah asli
Supersemar terdiri dari dua lembaran. Itu sebabnya buku “30 Tahun Indonesia
Merdeka” ditarik dari peredaran karena di dalamnya memuat naskah Supersemar
yang palsu, hanya satu lembar.
Penugasan atau Pemaksaan?
Nah, selain soal keaslian, cerita
mengenai proses kelahiran Supersemar juga kontroversial. Dalam buku
“Kontroversi Sejarah Indonesia” (Syamdani halaman 189), diceritakan ada mantan
anggota Tjakrabirawa , Letnan Dua
Soekardjo Wilardjito yang menyaksikan bahwa Bung Karno menandatangani
Supersemar pada 11 Maret 1966 dibawah todongan pistol FN kaliber 46.
Dikatakan Wilardjito, saat itu
Mayjen Nasoeki Rachmat (saat itu Pangkostrad), Mayjen Maraden Panggabean
(Wakasad) Mayjen M Yusuf dan Mayjen Amirmachmud mendatangi Soekarno di istana
Bogor dengan membawa map merah muda.
M Yusuf kemudian menyodorkan sebuah
surat yang harus ditandatangani. Sempat terjadi dialog dengan Bung Karno.
Wilardjito mengaku, dari jarak tiga meter di belakang Soekarno, dia melihat
Basoeki Rachmat dan M Panggabean menodongkan pistol. Bila itu yang terjadi,
maka orang bisa menyimpulkan bahwa sedang terjadi kudeta.
Kini, setelah 50 tahun berlalu,
belum ada jawaban terang soal pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal. Namun ada
harapan bahwa kegelapan itu terungkap.
Salah satu titik berangkatnya
adalah konsistensi Arsip Nasional Republik Indonesia dalam mencari dokumen asli
Supersemar.
Salah satu instrumen yang bisa
digunakan adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.
UU kearsipan itu berisi aturan
tentang sanksi maksimal hukuman penjara selama 10 tahun bagi orang yang
menyimpan arsip negara dan tidak menyerahkannya kepada Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI). Selain itu, Daftar Pencarian Arsip (DPA) juga disinggung.
Sejarawan Asvi Warman Adam berharap
ANRI mendorong keluarnya peraturan pemerintah atas UU Kearsipan.
ASVI WARMAN ADAM |
Apabila pemerintah menerbitkan
peraturan pelaksana, maka ANRI akan punya wewenang lebih untuk mencari naskah
asli itu.
Bisa jadi, kewenangan itu termasuk
menggeledah pihak-pihak yang mungkin menyimpan naskah otentik Supersemar tersebut.
Bila itu yang terjadi, maka ada
harapan terjadi pelurusan sejarah. Bila dahulu sejarah selalu disesuaikan oleh
kepentingan penguasa, kini sejarah juga memasukkan pandangan dan temuan dari
banyak orang.
Adagium “Sejarah ditulis oleh para
pemenang” tidak lagi jadi sesuatu yang mutlak.
Walau Soeharto tak lagi berkuasa,
dan tak ada dampak langsung secara politik, pengungkapan misteri Supersemar
tetap memiliki arti bagi bangsa Indonesia. Setidaknya sebagai bangsa, sejarah
kita dengan gamblang bisa diceritakan.
Pengungkapan Supersemar juga
menjadi peringatan bagi para penguasa agar tidak membelokkan sejarah untuk
kepentingannya. Karena mereka bisa saja menuliskan sejarah menurut kemauannya,
namun tidak bisa menghapuskan kebenaran. next
Tidak ada komentar:
Posting Komentar