AKU RELA DIPENJARA ASALKAN BERSAMA BUKU, KARENA DENGAN BUKU AKU BEBAS "MOHAMMAD HATTA"

Minggu, 09 April 2017

"SELAMAT HARI INI, TERSIKSA HINGGA MATI" BERHUTANG!!


Hutang Piutang Dalam Islam merupakan hal yang sifatnya Jaiz atau diperbolehkan, namun Islam mengatur tata cara hutang piutang tersebut secara sistematis, salah satunya dengan modal kepercayaan atau saling percaya, yang memberi hutang percaya memberikan pinjaman dan yang berhutang menepati janji untuk membayar hutang seperti perjanjian di awal. Namun, ada juga beberapa kalangan yang lebih memilih untuk meminjam pada sahabat dan saudara. Bukan tanpa alasan, pinjaman tersebut tentu tanpa embel-embel bunga dan agunan apa pun. Asalkan saling percaya, pinjaman tentu akan diberikan. Namun sayangnya, banyak yang menyalah gunakan kepercayaan tersebut dengan tidak membayar hutang tepat pada waktunya. Bahkan, ada juga yang sengaja pura-pura lupa.
Dalam Islam, berhutang merupakan hal yang sifatnya jaiz (boleh). Contoh hutang piutang dalam islam adalah saat Rasulullah Shallallaahu alaihi wassalam pernah berhutang. Kala itu, beliau berhutang kepada seorang Yahudi, hutang tersebut dilunasi dengan sebuah baju besi yang digadaikan.
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya” (HR Al-Bukhari no. 2200).

Meski dalam hadis tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah pernah berhutang, namun bukan berarti beliau gemar berhutang. Sebaliknya, Rasulullah sangat menghindari aktivitas hutang piutang jika tidak dalam keadaan terpaksa. Hal tersebut diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallaahu ‘anhaa.

 “Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang“

Kita tidak boleh berfikir, bahwa ketika terjadi transaksi riba, yang kena dosa hanya yang menikmati. Karena untuk satu transaksi riba, ada banyak pihak yang terkena imbasnya. Meskipun yang menikmati ribanya hanya satu.

Dari Jabir dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan :

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang makan riba, pemberi makan riba, orang yang mencatat transaksinya dan kedua saksi transaksi riba.

Beliau mengatakan, “Mereka semua sama.” (HR. Muslim 4177, Nasai 1248 dan yang lainnya).

Yang dimaksud pemberi makan riba adalah nasabahnya. Dia yang memberi bunga kepada bank. Artinya, ada dosa tambahan yang akan didapatkan oleh mereka yang mendapatkan utangan dari bank, yaitu dosa memberi makan riba ke bank. Dosanya kena laknat.

Allah berfirman :

وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Jangan melakukan tolong menolong dalam dosa dan tindakan melampaui batas.” (QS. al-Maidah: 2)

Tolong menolong dalam riba, berarti tolong menolong dalam transaksi yang haram dengan sepakat ulama. akan sangat baik jika menghindari hutang sama sekali, karena hutang itu tidak menyelamatkan kecuali sebentar, seterusnya akan mengikat dan mencekik. maka dari itu maka berhutang sangat dilarang kecuali punya kesanggupan untuk membayarnya dan tanpa memberi makan riba kepada pihak yang memberi hutang.



Yang menjadi kendala, orang yang berutang di bank, akan menghadapi peraturan pemerintah yang melegalkan bank untuk mengambil bunga atas pinjaman yang diberikan ke nasabah.

Tentu jika nasabah diberi pilihan antara bayar bunga dan tidak bayar bunga, mereka akan memilih tidak bayar bunga. Namun bank butuh margin. Ketika memberikan kredit, bank telah menetapkan plafon-nya.

Hanya saja, ini semua kembali kepada kebijakan bank. Bisa jadi bank bank mencabut kewajiban bunganya dan bisa jadi, bunga itu terus bertambah (bunga progresif). Selama di sana ada beberapa pilihan,  di sinilah peluang bagi nasabah. Dia bisa jadikan ini sebagai celah untuk menghindari riba bank.

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ

Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”

Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ

Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)

Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.

Dari penjelasan di atas, sepertinya tidak ada celah yang baik ketika kita memutuskan untuk berhutang, karena akan menjerat kita pada Riba, dan Riba itu sangat di benci oleh Allah Swt. Namun, jika harus berhutang maka lebih baik kita menjaminkan suatu barang yang kita miliki, sebagaimana Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya ketika hendak berhutang kepada Yahudi.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

Dari ‘Aisyah ra, berkata; Ketika Rasulullah saw wafat baju perang beliau masih tergadai kepada seorang Yahudi seharga tiga puluh sha’ gandum”. (HR. Muttafaqun ‘Alaihi).

Ketika kejadian ini Rasulullah saw sedang tidak melakukan safar. Kisah ini juga merupakan dalil dari Sunnah yang menjelaskan diperbolehkannya transaksi gadai tanpa harus safar.

ETIKA BERHUTANG

1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang

Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.

2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan

Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya” [8]

3. Berhutang dengan niat baik

Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.

a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” [9]

4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.

5. Wajib memabayar hutang

Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (an-Nisa/4 : 58) NEXT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar