Hutang Piutang Dalam Islam merupakan
hal yang sifatnya Jaiz atau diperbolehkan, namun Islam mengatur tata cara
hutang piutang tersebut secara sistematis, salah satunya dengan modal
kepercayaan atau saling percaya, yang memberi hutang percaya memberikan
pinjaman dan yang berhutang menepati janji untuk membayar hutang seperti
perjanjian di awal. Namun, ada juga beberapa kalangan yang lebih memilih untuk
meminjam pada sahabat dan saudara. Bukan tanpa alasan, pinjaman tersebut tentu
tanpa embel-embel bunga dan agunan apa pun. Asalkan saling percaya, pinjaman
tentu akan diberikan. Namun sayangnya, banyak yang menyalah gunakan kepercayaan
tersebut dengan tidak membayar hutang tepat pada waktunya. Bahkan, ada juga
yang sengaja pura-pura lupa.
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau
menggadaikan baju besinya” (HR Al-Bukhari no. 2200).
Meski dalam hadis tersebut
menjelaskan bahwa Rasulullah pernah berhutang, namun bukan berarti beliau gemar
berhutang. Sebaliknya, Rasulullah sangat menghindari aktivitas hutang piutang
jika tidak dalam keadaan terpaksa. Hal tersebut diperkuat dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Aisyah radhiallaahu ‘anhaa.
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung
kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah
kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu
dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang“
Kita tidak boleh berfikir, bahwa
ketika terjadi transaksi riba, yang kena dosa hanya yang menikmati. Karena
untuk satu transaksi riba, ada banyak pihak yang terkena imbasnya. Meskipun
yang menikmati ribanya hanya satu.
Dari Jabir dan Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan :
لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا
وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaknat orang yang makan riba, pemberi makan riba, orang yang mencatat
transaksinya dan kedua saksi transaksi riba.
Beliau mengatakan, “Mereka semua
sama.” (HR. Muslim 4177, Nasai 1248 dan yang lainnya).
Yang dimaksud pemberi makan riba
adalah nasabahnya. Dia yang memberi bunga kepada bank. Artinya, ada dosa
tambahan yang akan didapatkan oleh mereka yang mendapatkan utangan dari bank,
yaitu dosa memberi makan riba ke bank. Dosanya kena laknat.
Allah berfirman :
وَلا
تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Jangan
melakukan tolong menolong dalam dosa dan tindakan melampaui batas.” (QS.
al-Maidah: 2)
Tolong menolong dalam riba,
berarti tolong menolong dalam transaksi yang haram dengan sepakat ulama. akan sangat baik jika menghindari hutang sama sekali, karena hutang itu tidak menyelamatkan kecuali sebentar, seterusnya akan mengikat dan mencekik. maka dari itu maka berhutang sangat dilarang kecuali punya kesanggupan untuk membayarnya dan tanpa memberi makan riba kepada pihak yang memberi hutang.
Yang menjadi kendala, orang yang
berutang di bank, akan menghadapi peraturan pemerintah yang melegalkan bank
untuk mengambil bunga atas pinjaman yang diberikan ke nasabah.
Tentu jika nasabah diberi pilihan
antara bayar bunga dan tidak bayar bunga, mereka akan memilih tidak bayar
bunga. Namun bank butuh margin. Ketika memberikan kredit, bank telah menetapkan
plafon-nya.
Hanya saja, ini semua kembali
kepada kebijakan bank. Bisa jadi bank bank mencabut kewajiban bunganya dan bisa
jadi, bunga itu terus bertambah (bunga progresif). Selama di sana ada beberapa
pilihan, di sinilah peluang bagi nasabah.
Dia bisa jadikan ini sebagai celah untuk menghindari riba bank.
Dari Tsauban, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ
فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ
بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ
الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ
وَالدَّيْنِ
“Barangsiapa
yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong,
[2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu
Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu
Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ
مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ
قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ
ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa
yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka
hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena
di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no.
2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah juga
membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”
Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al
‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يُغْفَرُ
لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ
الدَّيْنَ
“Semua
dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no.
1886)
Oleh karena itu, seseorang
hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah
saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya
dengan istighfar.
Dari penjelasan di atas,
sepertinya tidak ada celah yang baik ketika kita memutuskan untuk berhutang,
karena akan menjerat kita pada Riba, dan Riba itu sangat di benci oleh Allah
Swt. Namun, jika harus berhutang maka lebih baik kita menjaminkan suatu barang
yang kita miliki, sebagaimana Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya
ketika hendak berhutang kepada Yahudi.
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَلَاثِينَ
صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Dari ‘Aisyah ra, berkata; Ketika
Rasulullah saw wafat baju perang beliau masih tergadai kepada seorang Yahudi
seharga tiga puluh sha’ gandum”. (HR. Muttafaqun ‘Alaihi).
Ketika kejadian ini Rasulullah
saw sedang tidak melakukan safar. Kisah ini juga merupakan dalil dari Sunnah
yang menjelaskan diperbolehkannya transaksi gadai tanpa harus safar.
ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan
keuntungan bagi si pemberi hutang
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap
hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah
satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah
pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan
akhlak orang yang mengerti membalas budi.
2. Kebaikan (seharusnya) dibalas
dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya
harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang
memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal
atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan
persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain,
yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran
tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, ia berkata :
كَانَ
لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ
مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ
فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ
فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا
سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ
فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ
قَضَاءً
“Nabi
mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia
tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan
kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi
mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun)
berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya
dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang
yang paling baik dalam pengembalian” [7]
Dari Jabir bin Abdullah
Radhiyallahu ‘anhu ia berkata :
أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ
وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ
فَقَضَانِي وَزَادَنِي
“Aku
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau
mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya” [8]
3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan
tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk
tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi
hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar
bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta.
Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar
mau memberi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ
أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ
أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ
وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا
أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa
yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya
(mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan
barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan membinasakannya” [9]
4. Hutang tidak boleh disertai
dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini
mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba,
maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli
kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.
5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi
orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang
merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan)
dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ
إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ
بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا
بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا
يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ
كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً
”
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. (an-Nisa/4 : 58) NEXT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar