IBU,, aku pernah menangis saat mengucapkan kata itu dalam sepiku, dalam diam tanpa ada seorangpun teman disampingku. Perlahan sesak menyusup dan membara seperti api yang membakar seonggok kayu kering, jantungku terasa panas, rasa yang aneh dan sungguh aneh.
Aku terbangun dari tidurku, kulepas selimut yang masih terbentang diatas tubuh dinginku karna hujan masih belum berhenti sejak jam 21.00 Wib aku mulai beranjak tidur. Kubuka kunci pintu kamarku perlahan, walau ada rasa takut membelenggu langkahku karna mataku sempat melirik jam dinding kamarku yang menunjukan hari pukul 01.25 Wib. Ku telan air ludah mencoba menenangkan diri untuk mengusir rasa takut, pikiran yang berpikir tentang hal-hal luar nyata yang mungkin saja terjadi malam-malam buta begini buatku kekeringan mendadak, Dehidrasi.
Tidak, entah apa yang memaksaku untuk tetap melawan rasa takut ini, aku harus keluar kamar, aku harus menuju ruangan nonton yang tepat dengan kamar orang tuaku, aku seperti mendengar suara gaduh disana, seperti suara lantunan ayat suci Al Qur’an dan suara orang yang sedang memuji Allah seiring dengan bunyi gesekan tasbih yang begitu lembut.
Kubawa langkahku keruangan itu, napasku yang tadi sesak karna menahan rasa takut yang hebat kini semakin hebat saat kusaksikan keluargaku yang jauh telah berkumpul diruangan nonton itu, kulihat paman dan ayahku sedang khusyuk berzikir dengan tasbih ditangan mereka, adikku yang melantunkan ayat suci Al Qur’an dengan deraian air mata, dan Ibuku yang terbaring menutup mata di atas kasur tempat kami biasa jingkrak-jingkrak tertawa saat nonton, tangannya dipegang kuat oleh kakak laki-laki ku yang sore tadi nelpon katanya nggak bisa pulang lantaran ada dinas disambung piket hingga besok pagi.
Terburu aku meloncat kesamping ibuku terbaring lemah, tak kuasa kulontarkan Tanya beliau kenapa?, aku tak sanggup lagi menyampaikan kalimat apapun, yang aku bisa saat itu hanya menangis seiring rasa takut kehilangan orang yang paling menyayangiku didunia ini.
Kuraba sekujur tubuhnya, tubuh beliau begitu dingin hampir seperti Es batu dan mengeras, kakakku terus mengusap tangan beliau untuk membagi panas tubuhnya. Aku menggigil ketakutan, ada apa dengan ibuku Tuhan?, beliau kenapa?, sakit seperti apa yang sekarang beliau rasakan sampai membuka matapun beliau tak bisa?. Aku takut!, itulah satu-satunya perasaan yang berkecamuk hebat dihatiku.
“Vertigo”, beliau merasakan pusing yang hebat, dunia seperti berputar terutama saat membuka mata, bahkan beliau tak bisa mengangkat kepala walau 2 cm dari bantal. Aku berlari masuk kamar dan mengambil Spigmomanometer serta Stetoskop yang tergantung didinding kamarku, dengan tergesa kupasang manset ditangan beliau. Astagfirullahhal ‘azim, Tensi beliau sangat tinggi, ini jauh lebih tinggi dari biasanya, 220/120 MmHg. Aku menelan air ludah, rasa takut ini semakin hebat, aku takut beliau terkena stroke, apa yang harus aku lakukan.
Beliau memelukku setelah satu jam kuberikan obat penurun tensi dan Vitamin, beliau tampak cukup stabil, walau harus dengan mata terpejam beliau dengan kuat memelukku. Ditelingaku beliau berbisik. Ternyata beliau jauh lebih takut dari pada aku yang tadi ketakutan, beliau sangat takut kalau harus pergi secepat ini, beliau ingin melihatku bahagia dan menemukan pasangan hidupku yang terbaik dan bisa beliau percaya untuk menitipku, dan satu hal yang buat beliau bertahan dari rasa sakit ini, karna rasa sayang pada anak-anak yang akan beliau tinggalkankan jauh lebih dahsyat dari sekedar rasa sakit yang bahkan buat beliau tak bisa bangun walau hanya 2 cm.
Seminggu, Ibu belum juga menginjakkan kaki dilantai, beliau masih terbaring lemah dikamar, kami sudah berusaha untuk membawa ibu berobat ke Rumah Sakit, tapi beliau menolak dengan tegas, beliau ingin dirawat olehku, beliau tak ingin terpisah sebentarpun denganku. Aku akan merawat beliau seperti yang beliau ingin.
Berhari-hari selama beliau sakit aku tak mampu menelan makanan, bahkan air putih terasa seperti batu tajam yang merobek tenggorokanku. Semua dan apapun yang ada dibawakan kakakku untuk dimakan kelihatan tidak enak, tak ada selera makan sedikitpun. Anoreksia.
Ini baru sakit, baru ujian ringan yang jauh lebih ringan dari sakit pasien-pasien Rumah Sakit yang pernah aku temui, aku sudah sangat kalut, aku sudah sangat takut, aku takut sekali dengan keadan yang tak biasa ini. Apa yang terjadi seperti hantaman tsunami dijantungku yang membenamkanku sampai kalbuku terdalam, berat.
Aku takut hidup tanpanya Tuhan, aku ini tak bisa apa-apa, aku tak mampu bertahan tanpa beliau bersamaku, aku harus minta bantuan siapa saatku kesulitan dengan suatu hal, aku kan ngadu ke siapa saat rasa sakit ditubuhku datang tanpa toleransi, aku juga tak tau pada siapa aku harus menangis menyampaikan luka dihatiku, dan pada siapa kuceritakan bahagia dihatiku tentang cita-citaku yang banyak, tentang angan-angan gilaku dan tentang cinta yang singgah dihatiku, dan aku juga tak tau pada siapa aku harus menyampaikan kemarahanku saat ada hal yang tidak disukai oleh hatiku.
Semua terasa indah karna beliau ada disisiku, karna beliau hidup bersamaku. Bagiku, apapun beliau, siapapun beliau dimata orang lain dan dunia ini, beliau adalah ibuku, ibu yang takkan kuhapus sampai kapanpun dihatiku, ibu yang tetap buatku sanggup menelan makanan walau beliau marah-marah dengan kenakalanku, buatku tetap tidur nyenyak walau beliau harus ngomel sekuatnya karna ulahku dan dan adikku, yang buatku tetap hiruk pikuk dengan music favorite ku walau beliau sudah teriak-teriak minta kecilkan volume lagu-lagu itu. Karna kemarahannya takkan pernah mengubah kasih sayangnya padaku, dan kemarahannya takkan pernah mengubah sayangku padanya, serta takkan memberi efek buruk dihatiku. Tinggal bersama orang tua sendiri itu lebih baik bagiku walau harus dengan segala kekurangan, dari pada tinggal bersama orang lain yang bahkan untuk tidur nyenyak pun kita nggak akan bisa. Ibu, bagaimana mungkin ada yang sepertimu yang menyayangiku.
Ibu, bagaimana aku harus memberitahumu betapa aku bangga memilikimu, semua kekuranganku terlengkapi oleh sempurna kasih sayangmu, semua kesedihanku terobati oleh pelukan hangatmu, semua kegagalanku terbangkitkan lagi oleh semangat hebat darimu, setiap langkah dalam hidupku menjadi lebih mudah berkat doa-doa mu. Ibu, aku tak akan pernah berhenti menangis pabila kau pergi dan tak pernah kembali lagi..
Tuhan, berikan kesehatan tuk ibu, berikan kesehatan tuk ibuku, sembuhkanlah semua sakit ditubuhnya, kalau aku boleh meminta biarlah aku yang sakit karna ku tak sanggup melihatnya menderita, aku tak sanggup melihat air matanya. Tuhan, berikan kekuatan dan kesabaran padanya, berikan semua yang terbaik darimu untuknya. Tuhan dengarkanlah pintaku, karna ini untuk orang yang sangat kucinta dalam hidupku, ini untuk ibuku, untuknya, apapun sanggup aku lakukan. Jangan bawa beliau pergi jauh dariku Tuhan, sebelum aku sempat bahagiakannya.
Ibu, kita semua cinta Ibu!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar